Klik
Part of Farak universe
Pukul lima pagi adalah saat untuk alarm pagi Jihoon berbunyi. Memaksa Jihoon untuk membuka matanya meski kantuk dan lelah masih terlalu mendominasi tubuh. Ia punya sebuah tanggung jawab yang pada akhirnya menciptakan sebuah kerelaan dalam diri.
Ada rumah yang harus diurus, dan ada keluarga yang harus dirawat.
Meski langkah kakinya terasa berat, pundaknya tegang, dan kabut kantuk belum sepenuhnya hilang, laki-laki itu tetap berjalan keluar dari kamar tidurnya di lantai satu. Urgensi untuk menguap lebar-lebar tidak bisa dihindari meski sudah mencuci muka di kamar mandi. Jihoon menggaruk perutnya sambil membaca sebuah resep sarapan sederhana melalui ponselnya.
Mata kantuk Jihoon kini beralih pada tumpukan piring kotor di wastafel, lalu beralih pada magic jar yang sudah dimatikan sejak kemarin. Ia mengecap mulutnya—masih mengantuk—dan sambil menggaruk belakang kepalanya, Jihoon mengambil panci bagian dalam magic jar dan mengisinya setengah penuh dengan air. Setelahnya, Jihoon mulai mencuci piring kotor di wastafel dan meletakkannya kembali ke dalam rak. Baru setelahnya ia mencuci panci bagian dalam magic jar, lalu mencuci beras dan mulai memasak nasi.
"Garam, lada…" kaki Jihoon sibuk bergerak di bawah kaki ketika ia mencoba mengingat-ingat bumbu apa yang akan digunakan dalam membuat omelet sederhana. Satu cangkir kopi hitam yang barusan ia seduh cukup untuk menendang rasa kantuk jauh-jauh. Jihoon berdiri dan berjalan ke arah kulkas, membuka kulkas, berjongkok dan menarik kotak paling bawah dan mengeluarkan sayuran beberapa sayuran. Selanjutnya, Jihoon berdiri dan mengeluarkan sayuran beku siap pakai dari dalam freezer.
Jihoon memulai kegiatan memasak sarapannya dengan memecahkan empat butir telur, cangkangnya tidak sengaja ikut jatuh ke dalam mangkok—ia kemudian sibuk membuang cangkang dari sana, memasukkan garam dan lada dengan kening berkerut—tidak yakin takarannya pas sebab resep yang ia baca adalah resep omelet untuk satu porsi makan, lalu menambahkan sayuran beku siap saji yang masih membeku. Ia langsung menuang adonan omelet itu ke atas wajan panas—sayang apinya terlalu besar—dan memasak tiga porsi omelet secara bergantian dengan hasil; omelet pertama gosong, omelet kedua dan ketiga menjadi telur orak arik. Jihoon mengangguk puas, nampak masih bisa dimakan.
Selesai dengan urusan memasak dan menata meja, Jihoon buru-buru mencuci tangannya dan naik ke lantai dua. Secara bergantian membangunkan Riki dan Chae. Ia kembali turun ke bawah setelahnya, menyiapkan susu dan memanaskan mobil. Kedua anaknnya sudah duduk di meja makan dengan ekspresi tegang saat ia kembali masuk ke dalam rumah.
"Makan, kayaknya enak kok" Jihoon mempersilakan kedua anaknya sambil mencuci tangannya. Chae menelan ludahnya, membaca doa sebelum memasukkan satu suap ke dalam mulutnya. Anak perempuan berusia dua belas tahun itu langsung tersedak begitu indera perasanya ditikam rasa masakan sang ayah.
"Ayah, asin banget!!" protes Chae setelah meminum air putihnya.
"Sayurnya masih keras" Riki turut menimpali.
Jihoon hanya garuk-garuk kepala, ia ikut menyendok sarapan miliknya. "Punya ayah pahit" komentarnya kemudian pada sarapan yang ternyata masih juga gagal.
Pagi Jihoon terus diawali oleh sarapan tidak enak. Mulai dari ketika mereka tinggal bersama untuk pertama kali hingga kini kedua anak kembar itu berusia dua belas tahun. Mulai dari ketika kedua anak kembar itu terus menangis di pagi hari mencari ibu mereka hingga sekarang hanya menyisakan protes tak berkesudahan soal seberapa payah masakan Jihoon—yang lucunya mereka habiskan tanpa sisa.
"Lama-lama aku beneran mau ikutan les masak deh ayah, sebelum kita bertiga keracunan" pagi ini Riki mendapat giliran mencuci piring. Chae dan Jihoon masih duduk di meja makan dengan masing-masing segelas kopi dan teh. Jihoon tertawa sambil meminum kopi dinginya, matanya tidak lepas dari ponsel.
"Kamu sama Riki udah kebanyakan ikutan les, nanti kecapekan" komentarnya setelah meletakkan ponselnya.
Chae melipat tangannya di depan dada, "masih bisa kalau lesnya hari minggu!"
"No, no, sayang. Minggu nggak boleh buat les. Ayah maunya kamu sama Riki santai hari minggu. Family Time sama ayah."
"Biasanya juga ayah ngajak ikut kegiatan random" komentar Riki tanpa berbalik. Sibuk menggosok teflon yang entah bagaimana punya bekas gorong bandel. Entah bagaimana Jihoon menggunakan teflon mahal itu kali ini.
Komentar Riki membuat Chae menepuk tangannya satu kali dengan lantang. "Kalau gitu kapan-kapan kita ikut workshop masak aja!!" usulnya penuh semangat.
Kedua alis Jihoon terangkat, "boleh, tapi kalian sendiri ya yang nyari workshop-nya. Nanti ayah tinggal bayar" balasnya. Jihoon kemudian berdiri dan mengusap puncak kepala Chae, "sekarang mandi ya. Kita ke tempat Dokter Seokmin dulu."
"Ayah mau periksa?"
Jihoon menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Sebenarnya, usia bukan satu-satunya faktor yang akhirnya membentuk Chae dan Riki sebagai anak dengan pemahaman lingkungan dan suasana di atas rata-rata anak seusia mereka. Ketika anak berusia dua belas tahun cenderung mulai mencicipi masa rebel sebagai remaja, memiliki keinginan kuat terhadap sesuatu bahkan sesekali membuat orang tua geleng-geleng kepala, apalagi jika sifat suka melawan ada di dalamnya, sepasang anak kembar tersebut bisa dikatakan cukup menurut.
Chae dan Riki sama-sama tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan ayah mereka tanpa melanggar batasan kesopanan. Keduanya tahu bagaimana menanggapi larangan dan penolakan dengan baik. Jihoon juga selalu punya alasan dibalik larangan dan keputusannya.
Sifat itu sekali lagi tidak hanya karena usia mereka. Dua anak kembar itu selalu melihat Jihoon sebagai mercusuar hidup. Layaknya pemimpin pack, juga seorang alpha—meskipun Jihoon selalu mengatakan keluarga mereka bukan merupakan pack yang sempurna. Sebagai pengganti orang tua, juga satu musibah yang menjadi titik balik kehidupan mereka bertiga lah yang membentuk kepribadian Chae dan Riki seperti sekarang. Mereka tahu meskipun Jihoon 'sangat' banyak kurangnya, banyak sakitnya, banyak sedihnya, alpha itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membesarkan mereka berdua.
Chae dan Riki mungkin masih berusia dua belas tahun. Masih banyak belum bisa melakukan hal sendirian. Namun mereka selalu menanamkan keinginan kuat untuk menjadi anak yang baik bagi Jihoon. Membantu Jihoon sebisa mungkin meskipun ketika ayah mereka rut, baik Chae dan Riki lebih banyak bingung dan menangisnya. Mereka selalu memaafkan setiap Jihoon meminta maaf setelah rut, dan keduanya juga selalu punya keinginan kuat untuk membantu Jihoon.
Oleh karenanya, ikut Jihoon pergi kontrol ke klinik bukan masalah besar. Ikut mengantri obat hingga telat ke acara spesial di hari minggu juga bukan masalah. Waktu-waktu singkat itu selalu mereka gunakan untuk bertanya banyak hal kepada asisten Seokmin, bermain dengan peliharaan dokter beta itu, atau terkadang hanya bengong di ruang tunggu. Toh setelahnya Jihoon akan mengantar mereka sesuai janji.
"Nanti ayah jemput jam setengah sembilan. Tapi kalau telat, nanti ayah kabarin. Kalian tunggu aja ya" Jihoon mencium kening kedua anaknya secara bergantian. Dua anak kembar itu menganggukkan kepalanya, melambaikan tangan mereka kepada sang ayah dan berlari masuk ke dalam hall tempat acara yang ingin mereka datangi. Sebuah pesta ulang tahun dengan hiburan lengkap di dalam sebuah mall di Jakarta Barat.
Merasa sudah cukup memastikan kedua anaknya masuk ke dalam, Jihoon membuka ruang obrolan dengan Soonyoung dan menuliskan beberapa pesan singkat sambil terkekeh. Laki-laki itu ternyata sudah dalam perjalanan menuju tempat janjian mereka.
Jihoon langsung pergi ke lantai dimana restoran tempat mereka akan bertemu, memesan meja, dan duduk dengan santai sambil bermain ponsel. Tak lama berselang setelah ia tiba disana, seorang laki-laki dengan feromon berbau manis dan hangat mencuri atensinya. Sosok laki-laki yang berdiri dengan ekspresi tegang di hadapannya membuat senyum Jihoon merekah sempurna, "halo Soonyoung."
Soonyoung nampak terkejut—juga sedikit malu-malu. "Kok tahu gue Soonyoung?!" tanyanya sedikit panik.
"Sama manisnya kayak di profile picture, jelas tahu dong" kalimat itu seketika membuat Soonyoung salah tingkah. Tanpa dipersilakan, Soonyoung buru-buru buang muka dan menuang air putih ke dalam gelas, meminumnya sampai habis sebelum mulai berbicara.
"Kenapa lo ngajaknya ke restoran keluarga sih" komentarnya berusaha menutupi ke-salah tingkahnya sendiri. Jihoon memperhatikan Soonyoung sejenak, lalu terkekeh sambil membuka buku menu.
"Ya karena enak. Kamu mau pesen apa? Saya bayarin"
Soonyoung menggeleng, "nggak usah, gue bayar sendiri aja" tolaknya buru-buru.
Jihoon diam sejenak sambil memperhatikan ekspresi Soonyoung. "Nggak usah sungkan. Kan saya yang ngajak."
"Ya… gue ngerasa nggak enak aja, Jihoon. Kita kan baru pertama kali ketemu. Split bill aja ya? Please" pinta Soonyoung lagi.
Jihoon sebenarnya tidak terlalu suka kalau Soonyoung menolak. Sedikit melukai harga dirinya sebagai seorang alpha. Terlebih pertemuan mereka hari ini diinisiasi olehnya, ditambah ini adalah pertemuan personal Jihoon dengan seorang omega setelah sekian lama. "Oke, tapi lain kali saya yang bayar ya" sayangnya Jihoon sendiri tidak ingin melewati batasan sebagai orang asing.
Senyum puas dan lega Soonyoung, ditambah feromon kayu manis yang menenangkan itu cukup menjadi biaya ganti rugi atas harga diri alphanya. Mereka memesan beberapa menu dan mengobrol setelah piring masing-masing kosong.
"Jadi lo bener-bener penghasilan dari bisnis properti dan main saham?" Soonyoung bertanya dengan terheran-heran sambil mengaduk jus alpukatnya. Jihoon hanya terkekeh sambil menyeruput kopinya, kali ini latte.
"Sama sekali nggak kerja kantoran?" Jihoon kembali menggeleng.
"Dulu pernah. Sekitar lima tahun yang lalu mungkin. Terus saya resign karena ya… pengen punya banyak waktu di rumah" timpal Jihoon kemudian.
Soonyoung nampak berdehem panjang dengan kening mengkerut dan bibir mengerucut. "Enak banget! Gue kerja libur cuma senin tapi gaji UMR banget" gerutunya dengan nada kesal.
Jihoon terkekeh, "gimana tadi footage-nya?"
Kali ini ekspresi Soonyoung berubah penuh semangat, ia mengeluarkan ponsel dengan layar sedikit retak di bagian ujung dan membuka video yang dia ambil, "makasih Jihoon!! Berkat makannya banyak, footage-nya nggak sepi."
"Sama-sama Soonyoung. Senang bisa membantu. Habis ini mau kemana?"
"Toko buku! Gue pengen beli buku yang kemarin di-review orang di TikTok."
Jihoon sangat menikmati agenda 'main' bersama Soonyoung hari ini. Ia merasa bagai sebuah buku usang yang sudah lama disimpan di dalam lemari, berdebu, dan lembab, namun akhirnya dikeluarkan dan kembali diisi oleh tulisan indah sang penyair. Laki-laki alpha itu menikmati bagaimana obrolan mereka terus mengalir. Ia juga suka melihat bagaimana kalimat-kalimat candaannya membuat Soonyoung salah tingkah, tersipu malu, atau berakhir ia menerima toyoran ringan di lengan kanan. Satu-satunya kontak fisik mereka hari ini.
Pribadi Soonyoung yang ceria dan ekspresif benar-benar menarik atensi Jihoon. Membuat Jihoon seratus persen terdistraksi dari seluruh kegiatan mereka hari ini. Alpha itu jelas tidak akan ingat seberapa melelahkannya berkeliling IKEA—terutama untuk Jihoon yang jarang pergi jalan-jalan—, atau seberapa mahal pakaian yang mereka lihat di salah satu toko pakaian, juga seberapa banyak variasi alat tulis lucu yang membuat Soonyoung pusing bukan kepalang.
Rangkuman isi kepala Jihoon hari ini mungkin hanya sebatas ekspresi sumringah Soonyoung melihat set interior di dalam IKEA sambil berandai-andai kalau omega itu akan merombak kamarnya suatu saat nanti, ekspresi terkejut dan kesal Soonyoung di dalam toko baju hanya karena angka dalam label harga, juga ekspresi bingung Soonyoung dengan sebuah pena dengan ujung wortel di tangan kanan dan pena dengan ujung stroberi di tangan kiri. Jihoon juga tidak lupa dengan semua ekspresi Soonyoung ketika ia iseng melontarkan berbagai candaan.
Dari sisi Soonyoung juga bisa dikatakan omega itu sangat menikmati acara mereka hari ini. Soonyoung adalah seorang omega dengan ego besar, cukup keras kepala, dan enggan diatur apalagi jika secondary gender turut disinggung dalam pembatasan-pembatasan yang orang lain berikan terhadapnya. Bagaimana Jihoon mengalah dan membiarkannya membayar makanannya sendiri membuat Soonyoung berani memberi nilai plus lada Jihoon, terlebih laki-laki itu adalah seorang alpha.
Jika diizinkan melakukan semacam pengakuan rahasia kecil, Soonyoung akan mengaku kalau sebenarnya ada banyak rasa takut yang dirinya sembunyikan dalam pertemuan ini. Terlebih mengingat Jihoon seolah tidak mengenal basa-basi dan seolah tidak tahu bagaimana sedikit 'mengerem' ketikan selama mereka mengobrol melalui ruang obrolan.
Rasa takut dan khawatir itu sekarang sudah bisa sedikit Soonyoung kesampingkan melalui pertemuan hari ini. Ia tidak menyangka dibalik sikap 'main terobos' Jihoon, ia adalah seorang alpha yang lembut. Jihoon tahu bagaimana bersikap di hadapan seorang omega, terlebih di pertemuan pertama mereka. Selama mereka menghabiskan waktu dari satu toko ke toko lain, Jihoon selalu berjalan sedikit di belakang Soonyoung dan memasang badan sehingga orang lain tidak menabraknya ketika berjalan. Jihoon juga selalu membentengi tubuh Soonyoung ketika mereka di tengah keramaian. Terutama di toko alat tulis yang menjadi destinasi terakhir mereka hari ini.
Soonyoung juga cukup terkejut karena Jihoon tidak menginisiasi sentuhan fisik secara sengaja seperti menyentuh pundak, pinggang, atau menggandeng tangan tanpa permisi. Selama mengobrol, Jihoon selalu menaruh tangannya di dalam saku, atau membiarkannya terlipat rapi di depan dada. Batasan-batasan yang Jihoon berikan membuatnya tersanjung. Sisi omega-nya mungkin kini menjerit karena merasa diperlakukan seperti ratu.
Ia tidak punya alasan untuk mengkritik atau melabeli Jihoon dan pertemuan hari ini sebagai pengalaman buruk. Mengesampingkan keusilan Jihoon, hari ini adalah pengalaman luar biasa menyenangkan bagi Soonyoung. "Thanks ya Jihoon gue udah diajakin main! Hati-hati pulangnya ya!!"
Jihoon tersenyum dan menganggukkan kepalanya, melambaikan tangannya kepada Soonyoung. "Iya, kamu juga hati-hati. Kalau ada apa-apa hubungin saya." Soonyoung hanya terkekeh dan mengacungkan kedua jempolnya untuk Jihoon. Alpha itu tidak bisa tidak tersenyum karenanya.
Setelah Soonyoung menghilang dari balik pintu utama mall, Jihoon langsung berbalik dan naik ke lantai paling atas. Chae dan Riki yang menunggunya sambil memakan es krim langsung berdiri dan berlari kecil ke arah Jihoon. Alpha itu hanya terkekeh sambil menurunkan badannya, bersiap menyambut kedua anaknya dengan pelukan hangat.
"Awas es krimnya jatuh."
Chae dan Riki terkekeh senang. Jihoon tersenyum, lalu menggandeng tangan kedua anaknya dengan tangan kanan dan tangan kirinya. "Hari ini seneng mainnya?"
"Seneng banget!!" Chae berseru penuh semangat, "tapi juga agak sedih ternyata. Soalnya hari ini nggak main sama ayah."
Jihoon hanya terkekeh, "ayah juga main hari ini."
"Main sama siapa?" Riki bertanya sambil memicingkan matanya usil.
"Rahasia."
"Siapa ayah?? Omega ya?! Baunya manis dan hangat lho! Chae bisa cium baunya." Jihoon hanya terkekeh dan membuat anak perempuannya menggerutu.
Anak perempuan itu kemudian memeluk tubuh Jihoon hingga sang ayah nyaris kehilangan keseimbangan. "Malem ini Chae mau tidur sama ayah!!"
Jihoon tertawa, ia melirik Riki yang nampaknya ingin mengucapkan hal serupa. Ia mengusap kepala anak laki-lakinya dan tersenyum, "iya. Nanti kita tidur bertiga ya? Ayah scenting kalian biar tidurnya nyenyak."