Kubis dan Daun Bawang

dipeletjihoon
9 min readFeb 12, 2024

--

photo by TripAdvistor

Ada banyak hal yang sering membuat Aksara merasa tegang—jantung berdebar, telapak kaki terasa geli, perut melilit, dan keringat dingin sebesar biji jagung—selama dua puluh tiga tahun ia hidup. Mulai dari ujian nasional, kuis dadakan, pengalaman pertama menjadi model untuk bisnis kecil-kecilan Ahad, hingga dipukul realita soal masalah ekonomi keluarganya. Tapi rasa tegang ketika berjalan menyusuri lantai satu salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya kali ini punya tingkat tegang yang jauh berbeda dari situasi-situasi menegangkan yang pernah Aksara alami.

Aksara merasa apa yang hendak ia lakukan setelah ini adalah hal kelewat gila. Bahkan rasanya tegang yang sekarang ia rasakan lebih gila daripada ketika Ayah dan Mama berbicara serius dengan pihak bank soal penjaminan toko pakaian keluarganya—satu-satunya mata pencaharian mereka sekarang—akibat terlilit hutang—yang juga merupakan peringkat satu memori paling menegangkan sekaligus mengerikan dalam hidupnya. Berkali-kali Aksara menarik napas dan membaca signage pada pilar lantai satu meski rasanya sejak tadi ia hanya berputar di tempat yang sama.

Rasa panik dan sensasi perut melilit itu semakin menjadi ketika jam tangan digital Aksara sudah lewat lima belas menit. Aksara berjalan cepat menyusuri lantai satu Royal Plaza dan berlari kecil ketika melihat satu petugas keamanan yang sedang berdiri tidak jauh dari eskalator. “Pak, Ta-Wan lantai berapa?” tanya Aksara dengan lidah berbelit dan suara bergetar. Aksara kelewat tegang hingga rasanya ingin ke toilet. Tapi rasanya ia enggan mendapat label dari Kata bahwa dirinya adalah sosok ‘tidak tepat waktu.’

Label yang mengingatkan Aksara kepada Wafi dan Sakala, teman sesama model yang tidak terlalu ia sukai—alasannya sederhana, Aksara tidak merasa cocok dengan dua teman sesama model asal Jakarta itu. “Lower Ground Mas. di Food Society.”

Aksara buru-buru mengucap terima kasih dan buru-buru turun lewat eskalator. Restoran tempat mereka akan bertemu ada tepat di depan eskalator. Aksara sedikit berlari menghampiri pramusaji di depan pintu masuk, menyebutkan nomor dan nama yang ia pakai untuk reservasi lalu masuk ke dalam. Pramusaji berparas cantik dengan tubuh langsing itu langsung mengantar Aksara menuju meja yang ia pesan di tengah malam. Seseorang berambut hitam sedikit panjang, memakai pakaian serba hitam—kaos hitam, jaket denim hitam, dan celana hitam—sudah duduk di sana, sibuk dengan ponselnya. Aksara menarik napas dalam-dalam sebelum bersuara, “Kata.”

Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke arah sepasang mata sipit Aksara.

Tubuh Aksara seketika membeku. Seolah tatapan Kata membuat sendi-sendirinya kehilangan fungsi, dan otot-ototnya mengeras. Pramusaji yang mengantar Aksara undur diri setelah merasa yakin pengunjung sudah ia antar ke meja yang tepat. Kata masih diam saja ketika Aksara tak kunjung duduk. Ia baru tersenyum beberapa saat kemudian dan membalas sapaan Aksara, “halo Aksa. Duduk dulu, kita pesan makan sekarang ya” ujar Kata sambil menepuk buku menu yang ternyata sudah diantar ke meja.

Aksara mengangguk kikuk dan buru-buru duduk. “Sorry ya gue telat. Ini langsung mau pesen?” balasnya lagi sambil membuka buku menu. Tangan Aksara gemetar saking tegangnya dan Kata memperhatikan itu. Ia kembali tersenyum sambil membolak-balikan buku menu.

“Belum lapar?”

“U-udah sih… lumayan,” balas Aksara sambil menunjukan gestur ‘sedikit’ dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. “Lo mau makan apa?” sambungnya masih berusaha terdengar tenang meski jantungnya sama sekali tidak bisa di ajak kompromi. Kata belum menjawab dan kembali membolak-balikan buku menu. Aksara sudah menentukan pesanannya—ia akan memilih makanan yang paling umum dan terlihat tidak terlalu mahal jika dibandingkan dengan menu lain.

“Kamu biasa makan banyak atau sedikit?” tanya Kata sambil menatap Aksara. Halaman buku laki-laki itu terbuka di halaman menu serba daging dengan jajaran menu premium khas restoran tersebut. Aksara menelan ludahnya sebelum menjawab.

“Porsi normal oke kok di gue.”

Kata mengangguk, “kalau gitu kita pesan ya?” Aksara mengangguk lagi. Ia memperhatikan bagaimana Kata memanggil pramusaji. Terlihat berbeda dari apa yang mungkin Aksara akan lakukan—clingak-clinguk sambil berusaha mengirim sinyal kepada pramusaji yang berdiri di sudut ruangan. “Saya mau pesan sapi hot plate-nya satu, sapo tahu seafood, sama bakmi Singapore. Oh iya ini udah include nasi atau belum?”

“Belum, kak” jawab pramusaji itu setelah selesai mencatat pesanan Kata.

“Aksara, kamu mau nasi juga? Mau pesan apa?” Aksara yang hanya bengong mendengar pesanan Kata sambil mengintip harga di buku menu menelan ludah panik. Ia buru-buru menggelengkan kepala dan langsung menyebut menu yang akan ia nikmati.

“Gak usah Kata, gue pesen bubur ayam reguler sama es teh aja.”

“Oke nanti kita bagi ya makanan yang aku pesan. Nasinya tambah dua piring ya Mbak. Terus ini cemilannya mau pesan—”

“Tunggu dulu. Kata, lo yakin bisa abisin?” Aksara merasa buru-buru menyetop laki-laki itu agar tidak memesan terlalu banyak. Selain menurutnya akan membuat banyak sisa tidak termakan, Aksa merasa khawatir dengan dompetnya yang bisa kempes mendadak. Terlebih ia sebenarnya berinisiatif mentraktir Kata.

“Habis. Tenang aja, bill on me, Aksara. Ini ya Mbak tambah cakwe sama tahu lima rasa. Untuk minumnya saya mau pesan Coca Cola.” Pramusaji membacakan pesanan mereka berdua—hampir seluruhnya milik Kata—lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Rasa tegang Aksara tiba-tiba berubah menjadi rasa panik setelah pramusaji yang mencatat pesanan mereka berdua kembali undur diri. Ia sedikit merapat ke dinding dan berbisik pada Kata yang masih tampak asik melihat-lihat daftar menu, “Kata, lo beneran bisa abisin semua? Di sini porsinya gede-gede lho…” bisik Aksara sambil melirik ke meja sebelah. Kata ikut melirik ke meja sebelah sebelum menjawab.

“Bisa. Kalau gak nanti bisa dibungkus kan? Kamu mau bungkus atau nambah juga boleh” jawab Kata yakin. Aksara memang sedikit tahu porsi makan Kata cukup besar jika mengingat beberapa surat yang pernah ia terima, terlebih dengan figur tubuhnya yang terlihat tegap dan berotot. Meski begitu, bagi Aksara yang makan sehari-hari serba pas-pasan, pesanan Kata bisa dikatakan sangat mahal dan banyak. Terkesan terlalu membuang uang.

Pemikiran Aksara jelas akan berbeda jka kondisi keluarganya masih seperti ketika mereka tinggal di Jakarta, bahkan ia tidak akan berpikir seperti sekarang. Sayangnya, keadaan tetap sudah berubah. Aksara tidak bisa menepis rasa heran yang muncul begitu saja.

“Nanti kita makan berdua. Kamu sama aku kan sama-sama belum pernah coba masakan disini.”

Aksara masih nampak ragu, “tapi jangan lo semua yang bayar… kita bagi dua ya…”

“Aku aja. Nanti kamu jajanin aku es atau makanan lain.”

“Kamu masih mau jajan lagi setelah pesan sebanyak itu??” Aksara memekik terkejut. Kata terkekeh pelan sambil menerima minuman yang diantar oleh pramusaji. Ia membuka botol kaleng sodanya, lalu menuang isinya ke dalam gelas yang sudah diisi oleh es. Aksara minum sedikit es teh miliknya agar tenggorokannya yang terlalu kering kembali sedikit basah.

“Banyak makanan yang kelihatan enak, tapi nanti kamu aja yang tentuin. Apa yang enak.”

Aksara menggaruk-garuk pelipisnya, “lo beneran suka makan ya. Tapi gue gak nyangka porsinya bakalan beneran gede.” Kata terkekeh.

“Sepupuku sering bilang, harusnya aku buka channel YouTube dan jadi food blogger daripada cuma tiduran seharian di rumah.”

“Jujur aku setuju sama sepupu kamu.”

“Oh iya gue kira lo bakalan main aman makan makanan Jepang” ujar Aksara lagi agar topik mereka tidak kering. Kali ini Kata yang garuk-garuk kepala.

“Ayah sama Papa ku lebih suka kasih makanan Indonesia selama di Edinburgh. They cook for me, kadang juga kami pergi makan di Restoran Indonesia. Apalagi sepupuku suka nasi padang” jawab Kata sekenanya. Aksara hanya mengangguk paham.

Tak lama setelahnya, pramusaji kembali dengan berbagai makanan yang mereka pesan sebelumnya. Dugaan Aksara benar soal porsi makanan itu. Sangat besar. Jika dilihat dari piring kosong yang ikut disajikan, semua hidangan ini sudah jelas porsi empat hingga lima orang. Diam-diam Aksara mengintip Kata yang menatap makanan-makanan dengan uap masih mengepul dengan mata berbinar. Aksara terdiam sejenak, kemudian terkekeh pelan hingga membuat Kata menatapnya heran, “sorry, lo kelihatan excited banget lihat makanan.”

Kata nampak tersipu dan mengambil sumpit dengan canggung. Ia tampak bingung hendak meletakkan sumpitnya di mana, namun akhirnya memutuskan untuk meletakan sumpit itu di samping piring kosong Aksara. “Makanan selalu bikin aku bahagia. Yang kita pesan juga baunya enak-enak banget” jelas Kata. Aksara hanya terkekeh, ia menambah perlengkapan makannya dengan sendok dan garpu, sedangkan Kata memindahkan sapo tahu ke dalam mangkok kecil. Ia mengangguk-angguk puas setelah mencicipi kuah sapo tahu itu.

Bubur yang Aksara pesan rasanya lumayan enak. Mungkin jika harganya hanya sepuluh ribu seperti bubur ayam di depan gang rumahnya, ia akan berpikir bubur ayamnya sangat enak. Aksara makan dengan tenang sambil sesekali melirik Kata yang makan dengan lahap. Ia menenggelamkan kembali wajahnya dan fokus pada bubur miliknya hingga sebuah potongan daging sapi berbumbu lada hitam diletakkan tepat di atas sendok Aksara. Aksara mengangkat wajahnya, Kata sedang menatapnya sambil tersenyum “jangan makan bubur aja. Cobain juga yang lain.”

Perhatian Kata membuat Aksara salah tingkah. Ia mengangguk kikuk dan mengambil piring bersih. Tangannya berhenti di udara bingung memilih bakmi Singapore atau sapi lada hitam. Setelah menimang beberapa detik, Aksara mengambil dua sendok nasi dan dua potong daging sapi. Kata terlihat senang melihat Aksara turut menikmati makanan yang ia pesan.

Keduanya lanjut menikmati makan siang mereka tanpa bertukar kata hingga tanpa sadar semua piring sudah bersih. Aksara mengusap perutnya yang membuncit sambil menatap Kata yang masih sibuk dengan ponselnya. “Beneran bisa habis kan?” ujar Kata bangga. Aksara hanya terkekeh malu—tapi tetap dalam kepalanya porsi Kata bukan porsi yang wajar menurut Aksara—apalagi nominal yang akhirnya dikeluarkan oleh Kata.

Aksara juga nyaris membuat bola matanya sendiri keluar ketika mereka berdua berdiri di kasir dan Kata mengeluarkan berapa lembar uang berwarna merah dari dompet tebalnya. Ia benar-benar dibuat terheran-heran dengan apa yang ia temukan dari laki-laki itu. Laki-laki yang baru ia temui secara langsung selama dua jam.

Setelah membayar, keduanya langsung keluar dari restoran dan berkeliling untuk sekedar melihat-lihat.

“Oh di sana ada pameran ya?” Saat sedang berjalan menyusuri area Lower Ground, keduanya melewati pameran yang kebetulan diadakan oleh pemerintah Kota Surabaya di sana. Aksara mengangguk sekenanya sambil ikut mengintip.

“Mau lihat?” Kata mengangguk dengan semangat.

Mereka masuk ke dalam area pameran yang tidak terlalu ramai, mungkin karena masih jam kerja dan bukan akhir pekan. Ada banyak hal yang belum pernah kata lihat, tapi sudah pernah Aksara lihat. Terlebih, semester lalu Aksara punya mata kuliah yang mengharuskannya bersinggungan langsung dengan penggiat UMKM di Surabaya. Kata banyak bertanya seperti anak kecil dan membuat Aksara heran. Kesannya berbeda dengan kalimat-kalimat yang ditulis oleh laki-laki itu di dalam surat-suratnya selama hampir dua tahun belakangan. Terlebih melihat tampang Kata yang lebih terkesan seperti orang cuek. Meski demikian, Aksara tetap menjelaskan setiap produk yang menurut Kata menarik, mulai dari aksesoris, sabun, hingga kue-kue basah.

“Oh ini papa sering bawa kalau habis pulang dari Indonesia. Spikoe kan?” ujar Kata sambil menunjuk salah satu stan UMKM di sana. Aksara ikut menoleh dan mengajak Kata untuk mendekat.

“Lumayan bener sih tapi kalau Spikoe itu merek premium. Ini bisa dibilang… lebih murah. Lo mau? gue traktir deh kalau yang ini” Kata terlihat menimbang-nimbang dan mengangguk setuju. Aksara bernapas lega ketika Kata lebih memilih membeli dua boks ukuran mini—ada sedikit rasa bersalah karena merasa lega karena hanya mampu membalas ‘traktiran’ Kata dengan sesuatu yang nominalnya jauh dari kata setara.

“Kalau itu apa?” kali ini, Kata menunjuk sebuah stan minuman di luar area pameran.

“Itu es aja. Manis-manis. Mau?”

“Lihat menunya dulu.”

Stan minuman yang ada di dekat pintu keluar menjadi tempat mereka mengistirahatkan kaki meskipun hanya berkeliling sedikit. Aksara merasa sisa uang di dompetnya harus disimpan hingga tiga hari ke depan—saat upah sebagai model dari Ahad masuk, juga saat Kavi menerima honor bulanan dan memberinya uang saku bulanan—pun Kata terlihat cukup puas dengan makanan dan minuman yang mereka beli. Aksara belum membawa Kata ke lantai atas yang berisi lebih banyak pilihan makanan dengan harga miring, tapi membayangkan Kata akan membeli makanan lain membuat Aksara takut laki-laki itu akan berakhir sakit perut karena terlalu banyak makan.

“Omong-omong lo ada jam malam?” tanya Aksara setelah melihat ke luar dinding kaca. Hari sudah gelap dan jalanan Surabaya sudah padat merayap. Kavi pasti terjebak di tengah padatnya jalan sekitar Embong Malang.

“Nggak ada. Aku nanti pulang dijemput, jadi gak masalah” jawab Kata santai sambil mengaduk float miliknya. “Kamu?”

“Gue asal udah izin dan gak ada keperluan bantu-bantu di rumah gak masalah. Tapi kadang diomelin kalau pulang terlalu malem” jawab Aksara sambil terkekeh.

“Aku gak nyangka kalau malam jalannya ramai dan macet, aku kira bakal longgar seperti waktu siang” komentar Kata sambil ikut menatap keluar jendela. Aksara melirik Kata sebentar sebelum kembali berbicara.

“Lo balik ke Indonesia karena ada urusan ya? Udah selesai urusannya?”

Kata diam sejenak, “itu urusan Ayah sama Papa. Aku nggak tahu. Kepentinganku di sini sebenarnya sudah selesai” balas Kata terlihat tidak terlalu senang membalas masalah keluarganya, “tapi karena sebentar lagi semester selesai, mereka minta aku di Surabaya sampai setidaknya sebelum semester depan mulai.”

“Masih lama banget ya?” tanya Aksara lagi. Kata hanya mengangguk.

“Berarti kapan-kapan kita bisa ketemu lagi dan makan bareng lagi. Lo kayaknya suka banget makan” kekeh Aksara. Ia mencoba sedikit mengalihkan fokus laki-laki itu dari topik yang ternyata kurang menyenangkan tadi.

“Iya. Jalan-jalan selanjutnya mau makan apa?” Aksara terkekeh mendengar jawaban Kata.

“Lo aja yang nentuin. Nanti gue traktir” jawab Aksara bangga.

“Walau makanku banyak?” balas Kata lagi.

“Syarat dan ketentuan berlaku deh…”

Keduanya tertawa.

Aksara merasa pertemuan dan obrolan-obrolan ringan antara dirinya dan Kata hari ini adalah hadiah kecil dari langit setelah kesabarannya diuji seharian. Tiba-tiba harus bangun lagi setelah begadang mengerjakan tugas dan mendapati Ayahnya hanya duduk santai di depan televisi sambil menikmati kopi pagi ketika Kakak dan Mama repot menyiapkan pesanan katering kecil-kecilan, tersesat ketika mengantarkan pesanan catering dan berakhir telat masuk kelas hingga kuis dadakan, juga motor yang susah keluar dari parkiran karena ada mahasiswa nakal yang memarkir motor sembarangan.

Aksara merasa senang dan lega pada setiap hal baru yang ia temukan dari dalam diri Kata.

support me on trakteer :3

--

--

No responses yet