SMA Gembira dan Bahagia

dipeletjihoon
9 min readApr 12, 2023

--

photo by Meg Boulden

Jika hidupku adalah sebuah film bergenre komedi, aku akan diperlihatkan sedang berdiri di depan cermin sambil menatap pantulan diriku yang menyedihkan. Karena ‘aku’ sebagai tokoh utama sedang merasa takut akan pergi ke lingkungan baru. Berbeda dengan ‘aku’ dalam film entah buatan siapa itu, aku duduk termenung sambil menatap tas yang sudah siap, juga bekal makanan ringan yang baru saja ibu letakkan di atas meja belajar. Aku menghela napas panjang ketika ibu memanggilku dari dapur, katanya sebentar lagi minibus yang biasa keliling desa untuk menjemput anak sekolah akan lewat di depan rumah. Ini termasuk informasi mengejutkan yang Seungcheol berikan kemarin—teman ibu itu memberiku jadwal minibus lewat di depan rumah, menu makanan di kantin sekolah, hingga tempat belajar di Desa Gembira yang katanya menyenangkan. Tidak ada jalan untuk berbalik atau mundur.

Dengan berat hati, aku memasukkan bekal makanan ringan buatan ibu ke dalam tas dan keluar dari kamar tanpa menyembunyikan wajah masamku. Ibu terkekeh sambil menyiapkan sarapan untuk nenek. "Buruan sana kak, nanti kalau telat jalan kaki lho. Hari pertama sekolah jangan telat!"

Lagian siapa yang menetapkan aturan masuk sekolah jam setengah tujuh pagi. "Jiji berangkat sekolah dulu" pamitku sambil memakai sepatu.

Minibus itu benar-benar datang tepat waktu. Aku langsung naik dan mengambil tempat duduk di barisan belakang, dekat jendela. Aku berharap hari ini akan berlalu secepat kedipan mata.

"Pagi semua!!" sepertinya doa-ku tidak terkabul kali ini.

Seorang anak yang aku yakin namanya Seokmin melompat masuk sambil berseru penuh semangat ketika minibus yang aku tumpangi berhenti di pertigaan sebelum pasar tumpah. Seokmin masih menenteng ukulele yang ia bawa di atas minibus waktu itu. Di belakangnya ada anak laki-laki lain dengan seekor kucing hitam bertengger di pundak kanan. Kalau tidak salah nama anak itu adalah Jun dan kucingnya bernama Wonwoo—aku masih ingat Soonyoung bercerita demikian.

"Minggir! Minggir!!" seru anak laki-laki berambut pirang itu sambil menyodok pinggang Seokmin dengan tongkat pramuka. Di belakang anak laki-laki itu, Mingyu muncul dengan senyum lebar.

Mingyu langsung berjalan ke belakang dan mengambil tempat duduk di sebelahku. Tas besarnya yang kosong ia dekap di depan dada. "Jihoon jadi pindah sekolah?"

"Iya" jawabku setengah mati malas. Aku berharap dia sakit hati dengan sikapku, supaya ia tidak terlalu sering mengangguku selama di sekolah, apalagi ketika belajar.

"Semoga kita sekelas ya!"

Aku berharap kita tidak sekelas.

Pada dasarnya, jarak rumahku ke sekolah baru yang tidak aku inginkan itu cukup dekat. Tapi minibus ini berkeliling desa seolah ingin menunjukkan seberapa luas desa terpencil ini. Aku tidak peduli. Yang terpenting adalah bus ini tiba tepat waktu di sekolah—dan untungnya minibus ini memang tiba tepat waktu, seperti transjakarta yang kerap aku naiki jika ingin pergi ke suatu tempat kecuali saat jam sibuk (aku lebih memilih naik taksi jika harus pergi saat jam sibuk).

Luas sekolah dan sedikitnya siswa di sekolah ini adalah hal di luar bayanganku. Aku tidak menyangka sekolah ini nyaris menyerupai sekolahku di Jakarta sana—dalam aspek kerindangan, tata taman, aturan sekolah, hingga jumlah lapangan yang sekolah ini miliki. Berkat itu, aku bisa sampai di ruang guru dengan selamat.

"Cari siapa?" tanya seorang guru perempuan berparas cantik kepadaku. Aku menggaruk belakang kepalaku sebelum menjawab.

"Saya murid pindahan" jawabku kemudian.

"Oh!! Lee Jihoon ya? Anaknya melati! Kenalkan, saya Bu Lily. Kebetulan saya wali kelas kamu, Jihoon! Tunggu sebentar ya, saya ambil absensi." Aku merasa sangat lega karena tidak perlu mencari-cari lagi siapa wali kelasku. Ruangan ini penuh dengan guru berwajah asing yang entah kenapa menaruh perhatian kepadaku.

Bu Lily mempersilakan mengikutinya setelah mengambil daftar absensi. Kami keluar dari ruang guru tepat ketika bel pertama berbunyi.

Kelasku ada di lantai tiga. Tepatnya, kelas paling ujung dan berhadapan langsung dengan lapangan basket dan kolam renang. Satu hal yang cukup membuatku cukup terkejut ketika melihat papan nomor kelas adalah, jumlah kelas yang ada di sekolahku. IPA tiga belas? Bukankah jumlah kelasnya terlalu banyak untuk ukuran sebuah desa? Aku melihat ke arah luar. Desa ini tidak terlalu luas, tepat seperti ingatanku. Lantas darimana semua anak yang mengisi tiga puluh sembilan kelas di sekolah ini berasal? Aku penasaran.

"Ayo masuk, nak Jihoon" di tengah rasa penasaranku, Bu Lily ternyata sudah membuka pintu kelas dan mempersilahkanku untuk masuk ke dalam. Aku menarik napas dalam-dalam sambil meyakinkan diri sendiri bahwa satu setengah tahun adalah waktu yang singkat. Aku bisa!

Seluruh mata di kelas yang ternyata tidak diisi sangat sedikit siswa—hanya sekitar tujuh orang—itu langsung tertuju kepadaku. Leherku terasa tegang karenanya. Bu Lily kembali berbicara ketika aku sudah berdiri tepat di depan kelas. "Anak-anak, mulai semester ini Jihoon akan bergabung dengan kita untuk belajar bersama. Sebelum itu, ayo beri tepuk tangan agar Jihoon tidak malu memperkenalkan diri."

Tepuk tangan riuh yang mereka berikan membuatku lebih malu. Bagaimana bisa perkenalan anak SMA terasa seperti perkenalan anak SD seperti ini? Aku berdehem, dan memperkenalkan diri sekenanya. "Halo semua. Kenalin, gue Lee Jihoon. Pindahan dari Jakarta. Buat satu setengah tahun ke depan, mohon bantuannya ya. Salam kenal. Terima kasih."

Lagi-lagi tepuk tangan riuh mereka berikan untukku. Sungguh aku sangat malu.

"Jihoon bisa duduk di samping Seungkwan. Dekat jendela, itu yang di sana" anak laki-laki berwajah bulat dengan senyum lebar melambaikan tangan kepadaku. Aku ingat siapa dia. Anak itu adalah salah satu dari tiga anak yang duduk di gubuk kecil bersama Seokmin dan Jun—kata Soonyoung.

"Ibu tempel jadwal pelajaran di papan tulis ya! Ketua kelas, seperti biasa ya. Ikut ibu ke ruang guru."

Seorang anak berdiri dan mengikuti Bu Lily keluar dari kelas. Mataku mengekor ke arah dua orang tersebut sampai mereka menghilang dari balik pintu. Tanpa aku sadari, sekarang aku sudah dikelilingi oleh anak kelas IPA XIII. "Ini… ada apa?" tanyaku ragu.

"Halo Jihoon! Kenalan yuk! Namaku Boo Seungkwan, panggil aja Seungkwan atau Kwan!" anak laki-laki yang duduk di seberangku mengulurkan tangan sambil berseru lantang dengan nada ceria. Aku membalas jabatan tangannya dengan kikuk.

"Gue Lee Jihoon. Panggil aja Jihoon."

"Jihoon masih inget kan namaku? hehe" Mingyu menyahut sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Namaku juga masih inget kan?" Soonyoung menyela dengan cepat sambil mendorong Mingyu mundur.

"Iya. Gue masih inget kok."

"Loh, kok kamu bisa kenal duluan sama mereka?" Seokmin menyahut kaget. "Oh iya Jihoon. Kenalan dulu ya, namaku Seokmin. Lee Seokmin. Aku suka nyanyi!" ujarnya lagi, kali ini ditujukkan kepadaku.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan balas menjawab sekenanya, "iya gue Jihoon. Salam kenal."

"Dia bocah yang dikejar sama Wonu. Jihoon, kenalin ya namaku Junhui. Panggil aja Jun, ini sahabat sehidup sematiku, Wonu" Jun—yang sebenarnya aku tahu siapa namanya—memperkenalkan diri sambil menyodorkan kucing hitam miliknya. Setelah diperhatikan, ternyata kucing itu memiliki warna mata berbeda. Oren dan Biru.

"Iya, salam kenal ya Jun… dan Wonwoo."

"Wonu bilang minta maaf karena bikin kamu jatuh ke sawah."

"Ya ampun kamu jatuh ke sawah?! Kamu gak papa??" tiba-tiba Seungkwan memeriksa seluruh tubuhku hingga aku terpaksa mendorongnya sedikit agar menjauh.

"Gue gak papa!!"

"Syukur deh kalau gak papa. Kalau kamu sakit atau luka, langsung cari aku sama Chan ya! Kami anggota PMR!" ujarnya lagi dengan bangga. Ia juga menunjukkan seorang anak yang berdiri di sebelah Soonyoung.

"Halo Jihoon. Aku Lee Chan, anak PMR juga kayak Kwan. Kamu yang waktu itu main bareng Mingyu sama Soonyoung di air terjun kan?" aku hanya mengangguk.

"Wow! Keren juga anak Jakarta udah kesana-kemari" Seokmin berkomentar sambil tertawa cekikikan.

"Dia juga udah nyobain lumpur sawah Seok. Gimana rasanya Ji? Manis-pahit kayak coklat?"

Aku tertawa meremehkan. Kenapa omongan Jun sangat tidak masuk akal? Tanah tetap rasa tanah. Mana mungkin ada tanah memiliki rasa menyerupai coklat. Sebelum aku sempat menjawab, ketua kelas tiba-tiba masuk ke dalam kelas dengan setumpuk buku. Ia meletakkan buku-buku itu di atas meja guru dan mulai berbicara. "Guys, this is our mission book for this semester. each person should take one book and not lose it. fill it out like usual, and get the reward at the end of the semester" ujarnya dalam bahasa Inggris.

"Oh iya, Jihoon. My name is Jisoo Hong. Nice to meet you!" aku hanya mengangguk sebab terkejut ada anak di sekolah ini yang lancar ber-Bahasa Inggris. Rasanya seperti mendengarkan Hansol berbicara ketika ia bersama keluarganya.

Setelah Jisoo memanggil satu persatu anak untuk maju ke depan, semua anak langsung keluar dari kelas. Aku berjalan terburu-buru untuk menyamakan langkah dengan anak lain dan bertanya kepada Seungkwan, "kita mau kemana?"

"Aula! Setiap awal semester selalu diawali dengan pengumuman siapa saja yang akan mengikuti kompetisi nasional dan internasional."

Keningku berkerut karena tidak paham. Seungkwan sepertinya bisa membaca ekspresi orang lain dengan baik. Ia membuka buku milikku dan menjelaskan, "hanya orang-orang yang berhasil mengumpulkan poin tertinggi aja yang bisa maju. Caranya adalah dengan memenangkan lomba-lomba ini."

Astaga, kenapa sistem di sekolah ini seperti permainan gim konsol? Aku berharap setelah dari aula kami diperbolehkan pulang.

"Ini kantin, setiap hari menunya ganti-ganti dan sudah dijatah sesuai kebutuhan nutrisi. Gratis kok, tinggal datang dan makan. Tapi kalau mau jajan, di sebelah sana ada kantin kejujuran…."

"Ini lapangan basket, di sebelahnya ada lapangan futsal. Sekolah kita juga ada fasilitas kolam renang di sebelah sana. Kelihatan kok dari kelas kita. Airnya pakai air bersih non kaporit, jadi gak akan merusak kulit sama rambut."

"This is our library. We have both the text book and the digital book…."

Sialan.

Aku tidak menyangka mereka akan menyeretku berkeliling sekolah tepat setelah pengumuan selesai. Jisoo, Soonyoung, dan Mingyu adalah orang yang mengawalku berkeliling sekolah. Sedangkan murid lainnya kembali ke kelas untuk bersantai. Mereka bahkan membuat janji—dan memaksaku ikut dalam janji itu—makan siang bersama sebelum pulang sekolah.

"Gue mau tanya deh, kenapa kelas kita isinya cuma delapan orang?" tanyaku ketika kami selesai berkeliling. Sejak di aula aku sudah bertanya-tanya kenapa murid di sekolah ini sangat sedikit. Aula seluas itu nampak kosong dengan jumlah murid tidak lebih dua ratus—aku menghitung kira-kira.

"Sekolah ini menerapkan sistem belajar intensif. Jadi per-kelas dibagi seperti kelompok belajar kecil. Keren kan?" Mingyu menyahut dengan bangga. Aku tidak membalas.

"Kita semua dikelompokkan sesuai sama poin di buku yang tadi dibagi sama Jisoo" tambah Soonyoung kemudian.

"Unfortunately, we are the last class. Our score is lower than the other class" tambah Jisoo kemudian.

"Makanya kelas kita gak ada yang dipanggil buat ikut lomba ke luar?" mereka bertiga mengangguk dengan kompak.

"I don't know how good your grade is, but you are placed in our class just because you are a new student. Jangan sedih ya," aku sama sekali tidak bersedih Jisoo. Terima kasih atas perhatiannya.

Tapi sungguh, kenapa waktu dia berbicara dalam Bahasa Indonesia malah terdengar aneh?!

Mingyu tiba-tiba memukul punggungku dan berkata, "tenang Jihoon!! Kita bisa nyusul poin mereka pasti! Jisoo harusnya bisa ikut salah satu lomba tapi dia gagal juara satu di lomba menyanyi. Jadi mau bagaimana lagi."

Soonyoung mengangguk setuju dan menambahkan, "dengan ini kita bisa atur strategi agar semua anak di kelas IPA XIII bisa lolos lomba!"

Aku tidak berkomentar lagi.

Kami tiba di kantin kemudian. Jisoo kembali menjelaskan cara mengantri dan hal detail lainnya. Meja makan kami penuh oleh seluruh anak kelas tiga belas yang hanya delapan orang. Banyak obrolan di kala makan siang hari ini, namun aku lebih banyak diam dan menyimak. Terlalu banyak obrolan tidak masuk akal, namun kebanyakan soal kegiatan mereka selama libur semester.

Yang pertama bercerita adalah Jun. Dalam ceritanya, ia berkemah selama hampir dua minggu di hutan belakang Desa Gembira untuk menandai rute berkemah paling aman dan mencari tempat baru untuk melihat bulan terbit. Ia berkemah bersama Wonu si kucing hitam yang juga turut makan bersama kami.

Seokmin menjadi orang kedua yang bercerita. Ia menceritakan pengalamannya naik bus setiap hari untuk menyanyi dan mendapatkan uang untuk membeli ukulele baru. Masih dalam pengiriman.

Seungkwan adalah anak selanjutnya. Ia bercerita kalau liburannya hanya dihabiskan untuk menanam jeruk dan mengawasi kebun jeruk sambil makan jeruk. Ternyata orang tua Seungkwan adalah petani jeruk. Pantas saja aroma citrus begitu kental di tubuhnya.

Soonyoung dan Mingyu bercerita dengan kompak soal agenda mereka melakukan banyak hal. Mulai dari menjelajah kaki gunung bersama harimau Soonyoung, hingga belajar mengemudikan traktor. Chan menambahkan bahwa ia kerap terlibat dalam petualangan Mingyu dan Soonyoung karena tidak tahu harus melakukan apa di rumah.

Jisoo juga bercerita kalau liburannya kali ini banyak dihabiskan dengan membantu ayahnya yang ternyata adalah kepala sekolah SMA ini. Rumah bergaya Eropa di seberang sekolah pun ternyata adalah rumah Jisoo. Dari situ aku baru tahu kalau sekolah ini dikepalai secara turun temurun.

"Kalau Jihoon liburan ini ngapain aja?" aku tidak menyangka Chan akan menunjukku untuk turut bercerita. Padahal akan lebih baik jika aku tidak dianggap.

"Gue cuma belajar sama jalan-jalan keliling desa. Makanya bisa ketemu Soonyoung sama Mingyu" jawabku sesingkat-singkatnya.

"Dan nyebur di sawah" komentar Jun mengundang gelak tawa semua orang di meja itu. Aku hanya mendengus kesal dan lagi-lagi tidak berkomentar.

"Jihoon suka belajar ya? Pasti pandai dan rajin" puji Seungkwan kemudian.

Aku menggaruk belakang kepalaku dan menjawab, "pelajar kan tugasnya belajar. Jadi gue belajar segiat mungkin biar bisa masuk universitas yang gue mau."

"Bagus!! Lanjutkan semangatmu Jihoon!" puji Soonyoung tib-tiba.

Setelah topik bertukar cerita kegiatan liburan, banyak topik lain yang mengalir begitu saja hingga tanpa sadar bel pulang sekolah sudah berbunyi.

Seungkwan mengatakan kepadaku bahwa sekolah ini sangat ketat masalah bel masuk dan bel pulang. Kami harus benar-benar patuh agar tidak menerima pengurangan poin—yang akan mempersulit izin ikut lomba nasional dan internasional. Aku hanya mengangguk dan buru-buru membereskan tas, lalu pergi ke halte bus di depan sekolah.

Dari halte bus itu aku bisa melihat Jisoo masuk ke dalam rumah, dan… Soonyoung yang pulang sambil menunggang harimau.

support me on trakteer :D

--

--

No responses yet