The Leader
cw: violence, harsh word, gun, death, mob attack, sword
Tokyo, 2012
Salju pertama akhirnya turun atas mandat langit untuk menghias akhir tahun. Sedikit banyak memaksa orang-orang untuk memakai pakaian berlapis, jaket tebal, syal melilit leher, hingga penghangat telinga. Benda putih dari langit itu juga kerap mengingatkan semua orang untuk berhati-hati dalam melangkah.
Meski salju pertama turun sedikit lebih deras daripada tahun lalu, orang-orang tampak bersemangat menyambut liburan akhir tahun. Jalanan Tokyo sudah banyak dihias oleh ornamen bernuansa Natal. Penjual es serut dan berbagai jenis minuman segar di musim panas kini beralih menjual ubi hangat, kue ikan berkuah, hingga roti isi daging. Muda-mudi berdiri di pinggir jalan menikmati cemilan penghangat tubuh mereka dengan asap mengepul.
Jika berjalan sedikit lebih jauh ke dalam gang sempit tidak jauh dari pusat Kota Ginza, deretan Izakaya (istilah untuk bar kecil di Jepang) memajang papan promo akhir tahun mereka; beli satu gratis satu, paket pasangan, reservasi spesial akhir tahun, dan masih banyak lagi. Jalanannya mungkin agak becek dan sedikit kotor—terutama di tahun 2012, suasana remang di jalanan sempit merupakan hal lumrah—tidak membuat orang enggan mampir kesana.
Mungkin salah satu alasannya adalah izakaya disana menawarkan pelayanan luar biasa baik, tempat yang bersih, daging kualitas kelas atas, dan pilihan alkohol yang variatif. Tidak jarang beberapa orang memilih untuk menghabiskan akhir tahun mereka di tengah suasana hangat dalam tempat sempit dan hangat itu.
Setidaknya jika tidak ada sekumpulan orang bertato yang masuk dengan kasar. Membuat izakaya dalam blok Kota Ginza itu seketika kehilangan kehangatannya. Semua pengunjung tidak berani bergerak maupun menghasilkan suara. Mereka menundukkan kepala ketika seorang perempuan yang memakai pakaian serba hitam, dibalut mantel berbulu tebal, dan memakai kanzashi (hiasan rambut tradisional Jepang berbentuk tusuk konde) perak di belakang kepalanya. Di bawah mata tajamnya ada sebuah tato berupa dua titik hitam.
Orang-orang berbadan besar dengan pakaian serba hitam yang datang bersama perempuan bermantel tebal itu berhenti tidak jauh dari sebuah meja yang sedang dituju oleh sosok perempuan dengan aura mengintimidasi. Meja itu hanya diisi oleh satu orang laki-laki, ia memakai baju berlapis serba hitam dan meminum sake-nya dengan tenang sambil mengacuhkan perempuan di hadapannya.
"Lee Jihoon?" tanya perempuan itu dengan dialek kansai (salah satu wilayah di Jepang) yang kental. Jihoon meletakan cawan sakenya sambil mengusap hidungnya.
Laki-laki yang dipanggil Lee Jihoon itu menyandarkan punggungnya dengan angkuh dan bertanya dalam Bahasa Jepang, "siapa kamu? Ada urusan apa?"
Tanpa menjawab, perempuan bermantel tebal tersebut mengisyaratkan salah satu bawahannya untuk memanggil seseorang yang menunggu di luar izakaya. Jihoon langsung mengenali siapa sosok laki-laki berjas hitam itu, apalagi tato bakung lelaban merah yang jelas terlihat mengintip dari leher.
"Tuan muda, anda harus kembali ke Indonesia. Tuan Besar sudah tidak ada" ujar laki-laki itu dalam Bahasa Indonesia. Jihoon terdiam sejenak sambil memutar cawan putih di tangannya. Ia nampak menimang-nimang sebelum kembali bertanya.
"Kapan meninggalnya?"
"Tadi pagi. Serangan jantung." Jihoon mendesah panjang. Ia nampak enggan.
Sambil mendekat, laki-laki bermantel hitam itu kembali berbicara, "pemakaman akan diadakan dua hari dari sekarang. Dan tuan muda—"
"Iya, gue tahu" Jihoon memotong cepat sambil berdiri. Ia berjalan dengan acuh meninggalkan laki-laki dan perempuan yang mengusik makan malamnya.
Sebelum kehilangan 'tuan muda'-nya, laki-laki itu menundukkan kepalanya sejenak ke arah perempuan yang membantunya mencari Jihoon. "Kami berterima kasih kepada Tenshin-gumi karena sudah menerima permintaan darurat ini. Sesegara mungkin kami akan membalas budi" ujar laki-laki itu menggunakan Bahasa Jepang.
Perempuan itu tersenyum remeh dan mengibaskan tangannya setengah mengusir.
Rumah Utama Hibangana-gumi, Surabaya, 2012.
Rumah mewah bernuansa tTionghoa yang berkesan futuristik itu masih diselimuti oleh suasana duka. Setiap sudut dalam maupun luar rumah hanya dipenuhi orang-orang berjas hitam, berpenampilan rapi, dan tidak sedikit yang berpostur kekar. Di lorong utama diisi penuh pada sisi kanan dan kiri, mereka menunduk pada rombongan yang baru saja datang. Seorang laki-laki paruh baya berbalut hakama memimpin jalan. Di belakangnya dua orang perempuan mengekor di belakang.
Laki-laki tua itu berdehem sambil menghentakkan tongkatnya.
"Tuan muda, Pemimpin dari Famili Tenshin ingin bertemu" ujar laki-laki bertato bakung lelaban merah di leher yang berdiri di depan pintu. Ia memakai pakaian serba hitam dengan rambut disisir rapi ke belakang.
"Masuk."
Setelah suara sang tuan muda terdengar dari dalam, pintu besar dengan ornamen berwarna emas terbuka lebar. Jihoon di dalam sana ditemani oleh seseorang berkacamata dan berwajah tegas—sedangkan Jihoon hanya memakai pakaian santai dibalut dengan haori⁵ hitam. "Selamat datang" sambut Jihoon dengan Bahasa Jepang.
"Karena persyaratan pembacaan surat wasiat tuan besar adalah dengan menghadirkan famili Tenshin-gumi sebagai prasyarat, saya akan membacakan surat wasiat yang ditinggalkan oleh mendiang." Laki-laki berkacamata itu membuka sebuah amplop coklat yang disegel dengan lilin. Di dalamnya ada sebuah surat yang ditulis tangan.
Dengan surat ini, aku Lee Hyungseok, pemimpin dari Hibangana-gumi (彼岸花組) sekaligus ayah dari Lee Jihoon menyatakan:
1. Bahwa saya akan menyerahkan kepemimpinan dari Hibangana-gumi kepada Lee Jihoon sebagai satu-satunya anak laki-laki saya setelah saya meninggal dunia.
2. Menepati janji kepada Pemimpin Tenshin-gumi (天心組) untuk menyatukan famili kami dengan menikahkan Lee Jihoon dengan putri pemimpin Tenshin-gumi, Hana.
Seluruh harta dan kepemimpinan dari Hibangana-gumi hanya bisa diklaim oleh Lee Jihoon jika syarat nomor 2 sudah terpenuhi.
"Wah… Wonwoo, gue nggak mau nikah muda nih, sama cewek pula…" komentar Jihoon dengan Bahasa Indonesia setelah laki-laki berkacamata itu membacakan isi surat wasiat tersebut—laki-laki bernama Wonwoo langsung menunjukkan ekspresi terkejut dan menggelengkan kepalanya.
"Aku dan ayahmu adalah teman baik. Oleh karena itu dia bisa punya sedikit kekuasaan di Jepang. Berkat kerja sama dua puluh tahun lalu" suara serak yang kental dengan logat kansai itu menginterupsi pembicaraan rahasia Jihoon dengan Wonwoo.
Jihoon memperbaiki posisi duduknya dengan canggung, "sejujurnya saya tidak terlalu tahu masalah bisnis ayah saya. Mungkin sebaiknya kesepakatan ini dibatalkan." Kalimat yang diucapkan tanpa kenal takut itu mengundang tawa keras dari si pak tua. Suasana mencekam tiba-tiba mencekik leher semua orang di dalam ruang kerja mendiang ayah Jihoon.
"Ayah kamu pernah bercerita soal kelihaian anaknya. Kecerdasannya, kelicikan, hingga ketangkasannya. Hyungseok juga bilang kamu seolah terlahir untuk memimpin sebuah famili mafia. Sedikit telat belajar tidak masalah bukan? Saya bisa mengajari kamu. Waktu kamu juga masih panjang." Jihoon hanya tersenyum tipis menghadapi kalimat tersebut. Tangan kanan yang menyangga kepalanya kini mengepal erat.
"Hana adalah putriku satu-satunya," pria tua itu melanjutkan sambil mengusap pundak perempuan berpenampilan rapi dan manis itu, "memimpin Yakuza bukan sesuatu yang bisa dia tangani. Tapi dengan adanya kamu, Jihoon… ekspansi wilayah dan bisnis pasti jauh lebih mudah dilakukan. Terlebih dengan posisimu sebagai calon pemimpin famili yang baru, aku tidak melihat adanya kerugiaan apa pun."
Sambil menatap Jihoon dengan tatapan licik, ia melanjutkan, "apakah pak tua ini salah, anak muda?"
North Quay, Surabaya, Januari 2017.
Tahun baru, juga sebuah berita utama di berbagai siaran televisi berjudul Tenggelamnya Sebuah Kapal Barang di Laut Jawa, Diduga Milik Kelompok Mafia Narkoba Kelas Kakap menjadi alasan sebuah pesta besar diadakan di salah satu restoran makanan laut milik Hibangana-gumi di pinggir Kota Surabaya. Berbagai petinggi dari kedua famili datang, dijamu oleh makanan laut berkualitas tinggi, juga berbagai anggur berusia lebih dari sepuluh tahun. Jihoon duduk di antara para petinggi famili dengan wajah masam, di sampingnya ada Hana yang berwajah tidak kalah menyenangkan.
"Bos kayaknya bete banget. Apa berantem lagi sama nyonya besar?" bisik seorang anggota bergelar 'kakak'—dalam struktur famili Jihoon yang berkiblat pada struktur famili yakuza, terdapat hierarki kedudukan dari atas ke bawah meliputi tuan besar; letnan, tangan kanan, penasihat/konselor; kakak, dan adik—berbisik kepada laki-laki berwajah campuran di sebelahnya.
"Bos sama nyonya setiap hari punya alesan berantem. Harusnya lo nebak aja, hari ini berantem karena apa."
Laki-laki tinggi itu memperhatikan Jihoon dari atas sampai bawah, lalu berpindah ke arah Hana dan melakukan hal serupa. "Kalau dari penampilan aman… berarti…."
"Eunchae sama Riki." Seorang laki-laki dengan tato bakung lelaban merah menginterupsi obrolan dua anggota famili mereka.
Dua anggota muda itu nampak terkejut, "Bang Cheol!!" pekik mereka setengah berbisik. Tidak ingin menginterupsi obrolan di meja utama.
"Kenapa sama anaknya bos?" laki-laki berwajah campuran itu ternyata penasaran.
Seungcheol—Bang Cheol—menghela napasnya sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, "nyonya pengen ngajak mereka kesini, tapi bos gak kasih izin. Katanya berisik nanti bikin tamu penting nggak nyaman."
Laki-laki tinggi itu kini melipat kedua tangannya di depan bada sambil menghela napas, "tuan muda sama nona muda emang agak bar-bar sih… ditambah lagi bos nggak suka sama anak-anak." Kalimat itu disambut dengan anggukan setuju dari Seungcheol dan laki-laki berwajah campuran.
"Oh lihat, bos sama nyonya besar pergi ke ruang privat. Sol, ikutin bos. Pasti berantem lagi tuh" ujar Seungcheol sambil menepuk punggung laki-laki berwajah campuran di sampingnya. Sol—Hansol si wajah campuran—menghela napasnya dan segera pergi menuju ruang privat.
"Tapi hari ini beneran rame deh. Bahkan Tuan besar dari Tenshin-gumi sampai repot-repot terbang dari Jepang cuma buat makan-makan."
"Mingyu, ini sebuah selebrasi. Mafia Narkoba dari Medan itu bener-bener kayak paku di jalan Hibangana-gumi. PR pertama Jihoon sebagai bos." Mingyu hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Walau jabatannya adalah sebagai seorang 'kakak', Mingyu tidak tahu banyak masalah internal inti familinya. Seungcheol dengan jabatannya sebagai letnan membuatnya punya akses atas informasi seperti ini—kesulitan Jihoon sebagai pemimpin baru.
Di tengah obrolan Mingyu dan Seungcheol yang mengelu-elukan Jihoon meski bos baru mereka lebih sering mengabaikan pekerjaannya dan kabur entah kemana, suara senjata api dan teriakan tiba-tiba terdengar. Tidak lama setelahnya, segerombolan bandit bersenjata api masuk dan menyerang dengan membabi buta. Mereka mengarahkan moncong senjata api mereka kesana-kemari dan membuat anggota famili yang tidak siap mau tidak mau harus menelan timah panas di sekujur tubuh mereka.
Seungcheol sebagai seorang letnan langsung mengkoordinasi anggotanya dan mencari Jihoon. Di penghujung penyerangan banyak anggota-anggota berpangkat rendah yang tewas, begitu pula dengan sebagian besar anggota inti dari kedua famili, termasuk pemimpin Tenshin-gumi dan Hana, istri dari Jihoon.
Rumah Utama Hibangana-gumi, Surabaya, Maret 2017.
"Kamu bunuh Hana!!" perempuan itu, si letnan Tenshin-gumi hampir membuat rumah utama Hibangana-gumi menjadi merah jika Jihoon tidak langsung menghentikan aksi gilanya. Dalam prosesnya, dua anggota famili Jihoon terkena luka tusuk dari kanzashi milik perempuan itu. Perempuan itu berseru dengan Bahasa Indonesia yang tidak begitu fasih.
"Gue nggak membunuh Hana, Bibi. Penyerang itu pelakunya" Jihoon menjawab dengan tenang sambil membersihkan sarung katana (pedang dari Jepang) miliknya. Baru saja tiba setelah memesan langsung ke ahli pembuat katana terbaik di Jepang. Bibi—letnan Tenshin-gumi—semakin naik pitam. Tanpa mengenal takut, ia berjalan mendekati meja Jihoon dan memukul meja kerja laki-laki itu dengan keras.
"Saya ada rekamannya! Kamu biarkan Hana tertembak!!" Tiga bulan telah berlalu sejak insiden di North Quay, Jihoon direpotkan oleh banyak hal; dipaksa untuk melakukan regenerasi anggota internal, perekrutan anggota baru, stabilisasi organisasi, dan sebagainya; membuat Jihoon mengacuhkan permintaan Tenshin-gumi untuk mencari siapa dalang dibalik penyerangan itu, juga untuk melakukan serangan balik sebagai aksi balas dendam.
Akibatnya, Bibi sebagai orang paling dekat dengan sang pemimpin dan putrinya melakukan pergerakan sendiri hingga ia menerima kiriman sebuah kartu memori berisi rekaman dalam ruang privat malam itu.
Isi rekaman itu memperlihatkan bagaimana salah seorang penyerang menyandera Hana. Menodongkan moncong pistolnya pada kepala Hana sambil mengancam Jihoon. Dalam rekaman itu penyerang nampak mengancam Jihoon, namun diacuhkan. Ia nampak diam saja sambil menyiapkan pistolnya. Ketika pada akhirnya ancaman-ancaman itu tidak menggoyahkan Jihoon, si penyerang melubangi kepala Hana. Baru setelahnya Jihoon melakukan hal serupa.
"Kamu bisa menolong dia Jihoon. Kenapa kamu biarkan Hana mati!!"
Jihoon menghentikan kegiatannya mengelap sarung katana, "gue terdesak. Kalau gue mati siapa yang jadi pemimpin?" dengan hati-hati, Jihoon menarik keluar katana-nya dari dalam sarung, lalu menodong Bibi dengan mainan barunya, "kamu mau jadi pemimpin Tenshin-gumi sama Hibangana-gumi? Merepotkan loh."
"Bibi!!" perempuan yang merupakan salah satu petinggi dalam Tenshin-gumi memekik ketika melihat letnan-nya mengeluarkan pistol dari balik jas hitamnya.
"Kamu tidak akan mencari siapa pelakunya?" tanya Bibi penuh amarah.
Jihoon menyingkirkan moncong pistol Bibi dengan katana-nya, "buat apa? Kerjaan gue banyak… males."
Merasa tidak lagi bisa menahan amarahnya, Bibi menembakkan satu timah panas ke lantai kantor kerja Jihoon. Semua anggota Hibangana-gumi langsung bereaksi, mereka mengarahkan pistol mereka ke arah Bibi. Jihoon masih duduk di tempat duduknya dengan tenang. "Kami sudah berdiskusi. Jika Hibangana-gumi tidak mau mencari tahu siapa pelaku pembunuh tuan besar dan Hana, kami akan memisahkan diri dari Hibangana-gumi." ujar Bibi dengan Bahasa Jepang, masih dengan dialek kansai-nya yang kental.
Jihoon menarik kembali katana-nya dan memasukannya kembali ke dalam wadahnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata dan meninggalkan Bibi begitu saja di ruang kerjanya.
Mulai hari ini, Hibangana-gumi dan Tenshin-gumi tidak lagi berafiliasi. Hibangana-gumi kehilangan salah satu benteng terkuatnya dari Jepang.
Waru, Surabaya, 2018.
Hujan deras turun malam itu. Sepasang ayah dan anak bersembunyi dalam rumah mereka yang gelap gulita. Mereka mematikan semua lampu, mengunci semua pintu dan jendela, dan bersembunyi di bawah meja makan. Dalam malam yang hanya diisi oleh suara hujan dan petir, sebuah gedoran kasar membuat keduanya saling memeluk erat meredam rasa takut.
"Woi!! Buka woi!! Bayar utang lo anjing!!" Suara berat dan kasar yang kerap mereka dengar minimal dua kali dalam sebulan terdengar jelas meski hujan malam itu cukup deras. Anak laki-laki itu menatap ayahnya dengan tatapan bergetar, ia ingin berbicara kepada sang ayah namun terlalu takut untuk bersuara. Ayah anak laki-laki itu hanya menggeleng, memohon agar sang anak tidak bersuara.
"Utang lo bayar anjing!! Jangan kabur!!" gedoran itu terdengar semakin keras.
"Udah, dobrak aja. Ambil yang bisa dijadiin jaminan!! Kalau pulang pakai tangan kosong lagi, kita bisa apes!!" setelah suara nyaring dari seorang laki-laki terdengar, para penagih utang itu memecahkan kaca jendela rumah mereka. Ayah dan anak itu semakin mengeratkan pelukan mereka.
Tiga orang dengan langkah kaki berat dan basah masuk ke dalam rumah mereka setelah menjebol pintu depan. Teriakan sumpah serapah terus keluar dari mulut ketika mereka mengambil beberapa barang berharga dan merusak barang tidak berharga di rumah sepasang ayah-anak itu. Jantung mereka nyaris berhenti ketika melihat kaki salah satu penagih utang berada tepat di hadapan mereka.
Dalam sedetik, meja tersebut terbalik ditendang salah satu penagih hutang. "Oi!! Orangnya sembunyi disini!!" seru penagih hutang itu sambil menyeret tubuh kurus sang ayah. Anak laki-laki itu merangkak mengejar sang ayah sambil berteriak.
"Ayah!!!"
"Soonyoung, lari!!"
Belum sempat melarikan diri, salah seorang penagih hutang itu menendang perut Soonyoung dan menyeretnya keluar dari dalam rumah. Melemparnya ke tanah becek bersama sang ayah dan menerima tendangan keras dari kaki berlapis sepatu bot.
"Makanya kalau gak bisa bayar utang tuh jangan ngutang, bego!!" seru penagih hutang itu dengan geram. Ia terus menginjak tubuh Soonyoung hingga rasanya seluruh tulang dalam tubuhnya rontok.
"Ampun!! Ampun!! Saya janji akan bayar hutang itu mas!! Istri saya baru saja meninggal minggu lalu, saya belum balik jualan lagi" ayah Soonyoung terus memohon sambil melindungi tubuhnya dari tendangan-tendangan brutal tersebut.
Si penagih hutang menghela napas kasar, ia menyisir rambut basahnya ke belakang sambil berkacak pinggang. "Alesan doang!! Kalau utangnya harus dibayar tanggal 25 ya dibayar tanggal 25 dong tolol!! Ini tanggal berapa? Lo punya kalender nggak sih di rumah!!"
"Oi!!" Di tengah tendangan-tendangan brutal itu, suara berat seseorang menghentikan aksi mereka. "Siapa lo! Ini wilayah bos gue anjing, ngapain lo disini?!" lanjut suara itu. Samar-samar Soonyoung bisa melihat sosok itu memakai celana kain dan memakai sepatu pantofel. Ia tidak bisa melihat dengan jelas karena matanya yang lebam dan berada di bawah hujan yang deras. Namun dalam ingatan samar-samar Soonyoung yang kepalanya begitu pusing dan berdengung, ia bisa melihat seorang laki-laki berpakaian serba hitam berdiri di seberang rumahnya. Tingginya tidak seberapa dan melihat bagaimana seseorang berbadan tinggi di sebelahnya tengah memayungi sososk itu, Soonyoung berkesimpulan kalau penyelamatnya adalah orang penting.
Sebelum pingsan, Soonyoung ingat meski samar-samar apa yabg sosok berpantofel itu katakan, "bos bilang minta nomor rekening kalian. Utangnya diambil alih sama famili kami. Tapi lo, lo, semua jangan pernah nyari orang ngutang disini lagi".
Surabaya, 2022.
"Wah gila, Soonyoung artikel kamu soal prostitusi sangat membantu polisi lho!! Padahal cuma konten trivia tapi kamu selalu kasih effort lebih ke semua pekerjaan kamu. Kamu yakin nggak mau jadi karyawan tetap aja?? Gajinya gede lho, daripada freelance gini."
Soonyoung hanya tertawa kecut sambil meminum es jeruk miliknya, baru saja diantar oleh pelayan kafetaria lantai satu kantor tempat ia rajin mengirimkan artikel soal sisi gelap Surabaya. "Nggak dulu pak, makasih. Side-job saya agak banyak dan saya nggak terlalu suka kerja kantoran."
Laki-laki paruh baya itu menggeleng kecewa, "udah nge-freelance dari semester lima, fresh graduate, IPK bagus, lulusan kampus ternama, tapi yah anak muda mah masih suka bebas ini-itu ya? Tapi kalau kamu berubah pikiran langsung kontak saya ya Soonyoung. Ah, saya tunggu juga artikel keren kamu yang lain."
Sekali lagi Soonyoung hanya terkekeh mendengar apa yang laki-laki paruh baya itu ucapkan. Ia baru bisa bernapas lega setelah orang itu undur diri, sambil mengaduk es jeruknya Soonyoung bermonolog pelan, "masih belum ketemu… dimana sih tuh orang…."
support me on trakteer.